Sabtu, 31 Januari 2009

Dapatkah Sastra Eksil Berbicara?

Seni dan Budaya

KOMPAS Minggu, 25 Mei 2003

Oleh: Komarudin

SELAMA rezim Orde Baru berkuasa, ada larangan terhadap sejumlah karya sastrawan yang dituduh terlibat dalam G 30 S/PKI, sehingga karya-karya mereka tak terjamah oleh publik pembaca sastra Indonesia, termasuk sastra eksil.

Namun, belakangan ini perbincangan mengenai sastra eksil kian mengemuka yang diiringi dengan penerbitan sejumlah karya-karya mereka. Sebut saja Kisah Intel dan Sebuah Warung karya Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan.

Eksil adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik pemerintah. Mereka menjadi eksil berawal saat peristiwa G 30 S/PKI yang terjadi pada tahun 1965, ketika itu mereka sedang berada di luar negeri dengan pelbagai tujuan. Mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, delegasi suatu perayaan, sampai berobat.

Semula mereka merasa yakin suatu saat akan pulang kembali ke Tanah Air, dengan asumsi pemerintahan Orde Baru tidak bisa berjalan lama. Namun, kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan Orde Baru mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang panjang.

Proses penantian panjang dan sangat melelahkan itu, sampai usia mereka pun berangsur-angsur tua. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah meninggal dunia sebelum pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada akhirnya, mereka memutuskan dan mempersiapkan diri untuk tidak akan bisa pulang ke Tanah Air. Kebanyakan dari mereka kini bersandar di Eropa.

Tanah Air

Problem Tanah Air dalam sastra eksil memang sangat dominan. Dalam karya-karya mereka mempunyai ideal tersendiri tentang Tanah Air. Misalnya kerinduan mereka tentang kampung halaman, orang-orang tercinta, hingga kritik atas kondisi Tanah Air saat ini.

Tentang Tanah Air, Goenawan Mohamad pernah menuliskannya dengan menarik. Tanah air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000).

Pernyataan Goenawan itu sebetulnya juga dapat dilihat dalam karya-karya sastra eksil. Seperti diungkapkan Sobron Aidit dalam Kisah Intel dan Sebuah Warung. Menurutnya, kalau di Jakarta, misalnya, rasa takut, khawatir, dan waswas selalu saja menghantui. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Pada kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikuti. Sejarah gelap bagi keluarga, dan orang-orang sepertinya, yang sangat menyedihkan. Tidak semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan bersedia menerimanya. Karena itu, bisa dipahami, eksil Indonesia sangat haus bergaul dan bertemu dengan orang Indonesia. Bila bertemu orang Indonesia atau bertemu muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main senangnya.

Sementara itu, dalam memoar Di Bawah Langit tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani sedikit sekali menyinggung kerinduannya pada Tanah Air, kepada istri, dan anak-anaknya. Berita-berita dari radio dari Tanah Air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan progresif, sengaja dihindarinya. Termasuk mendengarkan musik-musik Indonesia. Di Bawah Langit tak Berbintang merupakan bentuk kekecewaan Utuy melihat realitas komunitas eksil Indonesia di Cina.

Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air. Sebagai tempat lahirnya kenangan gembira dan sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah Tanah Air. Nun jauh di sana, Tanah Air, tak lebih hanya sebagai "komunitas terbayangkan"-meminjam istilah Benedict Anderson yang tersohor. Mereka membayangkan diri, seolah- olah berada di Indonesia. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan pernah berpijak di Indonesia.

Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).

Oleh karena itu, seperti ditegaskan Martin Tucker (ed), dalam Literary Exil in the Twentieth Century: An Analysis and Biographical Dictionary, eksil Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, dibandingkan dengan eksil dunia lainnya. Berbeda dengan pengungsi yang menganggap status pengasingan diri mereka sementara dan karenanya ikatan yang tercipta dengan tanah baru tempat mereka mengasingkan diri hanya sedikit, eksil menganggap tanah pengasingan adalah rumah baru mereka sehingga ada ikatan yang lebih kuat antara pribadi eksil dengan tanah pengasingannya ini. Dengan demikian, komunitas-komunitas eksil semacam ini, menjadikan tanah pengasingan mereka yang baru sebagai rumah dan menciptakan kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Dari sinilah kita mengenal apa yang disebut kebudayaan diaspora (Alex Supartono, 2001:158).

Namun, dalam karya sastrawan eksil tidak mengalami diaspora. Sekalipun dari mereka menguasai bahasa asing, tetapi mereka tetap menulis karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Itu pula yang membuat sastra eksil memiliki kekhasan.

"Subaltern"

Meminjam istilah diskursus pascakolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subyek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat "inferior".

Seperti dituturkan Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terutama pascatragedi tahun 1965 di Indonesia yang mengakibatkan manusia tidak berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam, tokoh utama dalam novel tersebut. "Semua orang bisa dituduh komunis asal yang menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis, boleh dibunuh, seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap, seperti menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu, diambil dan dimakan."

Hal serupa juga terdapat dalam Menuju Kamar Durhaka karya Utuy. Terutama dalam salah satu cerpennya Anjing. Cerita itu ditulis Utuy saat berada di Moskwa, yang menceritakan retaknya hubungan para eksil di Tiongkok akibat perilaku yang mementingkan diri sendiri, bak "anjing".

Dalam cerpen itu, kehidupan para eksil Indonesia di perkampungan di Tiongkok terbagi atas dua golongan. Utuy dan kawan-kawannya adalah golongan yang oleh pihak lainnya disebut "penentang". Sedangkan golongan lainnya disebut "pemerintah". Disebut golongan "penentang" karena mereka mengatur kehidupannya sendiri. Sementara, mereka yang disebut "pemerintah" karena mereka diberi wewenang untuk melaksanakan segala peraturan dari pihak kawan di Tiongkok untuk mengurus kehidupan semua eksil di situ. "Anjing-anjing" itu secara statistik termasuk golongan "penentang". Gara-gara banyak anjing, pihak pemerintah berusaha untuk mengeluarkannya dari perkampungan.

Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.

Dengan meminjam istilah Martin Heidegger, Lichtung, yang berarti "cahaya" dan "pembukaan" (wilayah), diskursus sastra eksil akan mengingatkan kita bahwa identitas selalu didukung oleh keberadaan yang lainnya. Dalam konteks ini, sastra eksil. Sejalan dengan pandangan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri.

Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai "sastra minor" (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.

Komarudin, peminat masalah sastra eksil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar