Sabtu, 07 Februari 2009

Semangat Neoliberalisme dan RUU BHP

Oleh Komarudin

Baru-baru ini ribuan guru berdemo menuntut dipenuhinya anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN, perbaikan tunjangan guru, dan pembatalan Ujian Nasional (UN). Problem dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti sampai di situ. Masalah lain pun siap menghadang pendidikan kita ke depan. Salah satunya hadirnya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang memiliki semangat ke arah neoliberalisme.

Arus globalisasi kian deras melanda di seluruh dunia, tidak ketinggalan di Indonesia. Dalam globalisasi itu mengangkut paham neoliberal. Kondisi seperti itu membuat orang mulai menghayati pentingnya persoalan waktu dan ruang, yang dikenal sebagai meminjam istilah geografer David Harvey-time space compression. Konsep tersebut merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini terkait kemajuan material yang menjamah hampir segala segi kehidupan. Semakin orang menguasai waktu dan ruang, orang kian menunjukkan kekuatannya. Kenyataan itu kian diperkuat dengan cepat dan suburnya internasionalisasi perdagangan, sumber-sumber keuangan, multinational corporation (MNC). Pendek kata, time space compression telah mengomersialisasikan kehidupan manusia, tak terkecuali dalam dunia pendidikan.

Bila mengikuti alur pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu tentang neoliberalisme bisa membuat kita sedih. Baginya, neoliberalisme tidak jauh berbeda dengan Marxisme pada masa lampau. Terutama, dalam hal membangkitkan kepercayaan yang luar biasa, utopia keyakinan perdagangan bebas (free trade faith). Tidak hanya pada mereka yang diuntungkan secara materi materi, seperti bankir, pemilik modal, bos perusahaan besar. Namun, mereka juga memperoleh pembenaran atas keberadaan paham itu, misalnya, para pejabat tinggi dan politikus yang memberhalakan kekuasaan pasar hanya demi alasan efektivitas ekonomi.

Dalam pandangan Bourdieu, mereka yang disebut terakhir ini cenderung akan menuntut dihapuskannya hambatan-hambatan administrasi atau politik yang dapat mengganggu kelancaran para pemilik modal dalam usaha mencari keuntungan individual yang sebesar-besarnya. Bahkan, mereka setuju dengan gagasan subordinasi negara bangsa (nation state) terhadap tuntutan-tuntutan kebebasan ekonomi bagi para pengendali pasar. Terutama penghapusan semua peraturan yang menghambat pasar. Mulai dari pasar kerja, pencegahan defisit dan inflasi, swastanisasi semua bentuk pelayanan publik, hingga pengurangan belanja umum dan sosial.

Pandangan itu semakin diperkuat dengan pernyataan pakar pendidikan Henry A Giroux. Menurutnya, neoliberalisme telah merasuk dalam proses pendidikan prasekolah sampai perguruan tinggi (PT). Giroux melihat neoliberalisme sebagai ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi. Neoliberalisme memberikan peranan yang sangat besar kepada fundamentalisme pasar. Artinya, segala sesuatu diserahkan kepada kemauan dan kekuatan pasar (Tilaar, 2005). Dalam neoliberalisme, kebebasan merupakan kebebasan dalam berbisnis.

Kekhawatiran pendidikan kita berwajah neoliberalisme memang beralasan, terutama dengan kehadiran RUU BHP karena mengarah pada privatisasi atau swastanisasi. Di mana pelayanan publik sudah memasang target segmen khusus kepada masyarakat. Tujuannya, tidak lain demi mencari keuntungan.

Kekhawatiran itulah yang membuat kehadiran RUU BHP yang tengah digodok di parlemen menuai kontroversi. RUU BHP lahir dari implementasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Berdasarkan bunyi salah satu pasalnya, pasal 53 ayat 1. Yaitu penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. RUU BHP berisi antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dengan perguruan tinggi swasta (PTS).

Dalam era BHP itu lebih mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Bahkan, perguruan tinggi juga bebas untuk bekerja sama dengan institusi asing. Dalam neoliberalisme pendidikan peran negara dalam urusan pembiayaan pendidikan menjadi terlepas. Tentu saja, kita akan menolak bila pemerintah melepaskan tanggung jawabnya atas pembiayaan pendidikan.

Tawaran
Ada beberapa tawaran terhadap kehadiran RUU BHP itu, terutama untuk menghentikan kekhawatiran terhadap munculnya semangat neoliberalisme pendidikan. Pertama, selayaknya model pelayanan publik untuk hak-hak dasar warga negara lebih pantas dibenahi dengan modernisasi ketimbang privatisasi. Pasalnya, hak atas pendidikan merupakan hak pribadi yang berakar dalam kebutuhan pokok manusia. Manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya tanpa suatu pendidikan. Kebutuhan akan pendidikan itu termasuk kebutuhan pokok yang tidak perlu direduksi dengan kebutuhan lain. Oleh karena itu, manusia mempunyai hak dan kewajiban sekaligus dalam pendidikan.

Kedua, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan dan akuntabel, diperlukan BHP yang berpola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat (public private partnership). Bukan privatisasi atau pun swastanisasi. Tampaknya, pola ini lebih sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Artinya, pemerintah dituntut untuk menguraikan dan menuangkan apa yang telah diamanatkan pasal-pasal tersebut dalam RUU BHP. Usaha itu perlu dilakukan untuk menghindari pengelolaan pendidikan terperosok dalam jurang free fight liberalism. Dalam konteks itu, pemerintah harus membangun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial. Artinya, pemerintah wajib memberikan beasiswa kepada mereka yang status ekonominya tidak mampu. Bukankan tugas negara itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal itu untuk menghindari hanya anak-anak dari kalangan keluarga kaya saja yang bisa menikmati pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan masyarakat miskin hanya gigit jari dengan memperoleh pendidikan ala kadarnya.

Ketiga, hal lain yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan adalah merangsek masuknya subsidi silang dalam Undang-undang BHP. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perguruan tinggi. Jadi, tidak hanya perusahaan atau lembaga ekonomi profit saja yang memikirkan dan menjalankan program sosial lewat corporate social responsibility (CSR). Lembaga pendidikan tinggi pun sudah seharusnya melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Bila subsidi silang masuk dalam salah satu pasal UU BHP kelak, berarti akan mewajibkan seluruh perguruan tinggi di Tanah Air untuk melaksanakannya karena telah menjadi sebuah kebijakan nasional. Paling tidak, hal tersebut akan berimbas makin banyak warga negara yang mengenyam pendidikan tinggi dan semakin banyak pula potensi dari suatu bangsa untuk mencurahkan kemampuannya dalam peningkatan kualitas kehidupan bangsa.

Keempat, menolak kehadiran BHP karena hanya akan menyengsarakan masyarakat kecil untuk memperoleh pendidikan yang layak. Benarlah apa yang diungkapkan Bourdieu bahwa pendidikan hanya mereproduksi perbedaan dalam masyarakat. Alangkah mengenaskannya kondisi pendidikan kita ke depan. Oleh karena itu, perdebatan panjang masih perlu diupayakan untuk mencari solusi terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar